Kemelut Mesir dari Sebuah Warung

Dengan mempertahankan cengkeraman tangan besinya di Mesir selama 30 tahun, Hosni Mubarak disejajarkan dengan Firaun,” demikian tulis Egidius Patnistik dalam liputannya di kolom Internasional kompas.com, 31 Januari lalu. Sangat menohok.

Saya sebetulnya tak terlampau paham dengan konstelasi politik Timur Tangah. Ya, barangkali memang bukan bidang saya. Halah..—opo tho. Koran yang disajikan di warung di mana saya biasa makan, lah yang memaksa saya untuk mengikuti perkembangan ini. Karena memang nampaknya, ketika membolak-balik Koran di meja makan—tentunya setelah memonopoli Koran dari penjaja lain,  tak ada berita yang lebih cocok dibaca sembari makan selain berita huru-hara itu.

Bahkan melebihi kemelut soal cerpen “Perempuan Tua dalam Rashomon” karya Dadang Ari Murtono (Kompas, 30 januari 2011). Cerita pendek ini mengegerkan dunia sastra Indonesia lantaran dianggap sebagai hasil dari plagiat dari cerpen Akutagawa Ryunosuke, cerpenis terbaik jepang, yang berjudul “Rashomon”. Yah. Ini memang gempar. Tapi tak ada huru-hara, melainkan sedikit caci-maki, umpatan, atau kekecewaan, entah pada Kompas atau Dadang. Continue reading

Solilokui

Subuh tadi gerimis. Kalau begini bisanya sore hari hujan. Apalagi, siang ini masih mirip seperti kemarin, cerah dan tenang. Eh, tepatnya panas dan sepi. Waga desa tidak terlihat. Hanya aku dan parmin yang nongkrong di perempatan utama desa. Jangan berfikir mereka sedang bekerja. Sebab, sawah desa ini jadi surga bagi para wereng. Pestisida dan pupuk yang dulu dijejalkan pemerintah, tak bisa kami beli. Peyuluhan dari orang-orang kota, yang katanya para ahli tanam-menanam, pun malah menambah ketergantungan kami pada pupuk-pupuk itu.

Ah jangan memikirkan itu, nanti rokok lintingan dan kopi yang aku seduh tak nikmat lagi, sedang permainan kartu ku tak asik lagi. Tapi memang itulah kenyataannya. Bukan apa-apa, cuma soal desa yang tak maju, tentang orang-orang miskin, dan pengangguran yang berhamburan. Tak ada kekayaan alam yang bisa kami olah. Mungkin sebentar lagi hutan sebelah akan habis. Jangan berfikir buruk pada kami. Orang kota lah yang menebangnya. Sudah bertahun-tahun mereka menghidupkan gergaji mesin yang meraung-raung tiap siang dan malam hari. Awalnya kami menerima saja, lagipula mereka mengatakan bahwa sebagian besar hasilnya digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa. Tapi nyatanya, jalan utama desa saja, masih memakai susunan bebatuan yang terjal. Tak ada pembangunan bagi desa kami. Kami tak bisa menghentikan. Konon mereka memiliki surat resmi, semacam kertas bertulisan yang bisa mendatangkan bencana bagi kami. Kalau melawan, kami akan dituduh melanggar hukum, dikurung. Ah, kalian. Orang-orang kota. Continue reading

Sesat

 

“Ada kesalahan ketika menyebut zaman sekarang sebagai modernisme”, ucap si adi kawan SMPku. Rupanya dia kini kuliah. Ku anggap biasa saja ocehan dalam pertemuan yang tak disengaja itu. Dalam warung Kopi satu-satunya dikampungku. “Kenyataannya, rupawan yang menawarkan keteraturan, kekerdilan, kepastian, kepraktisan itu telah dipermainkan. Modernisme sudah tidak ada!”, ucapnya menggebu.

“Adanya, postmodernisme telah berceloteh, bermain, dalam ruang-ruang ini. Apa maksud ‘ruang-ruang ini’. Jangan dipikirkan! Jika kamu menuntut ketepatan, disini bukan tempatnya. Ini postmodernisme kawan, suka-sukalah kamu sesukamu. Ya, Absurditas bersuka ria. Suka-sukamu, sukalah sesukamu”. Satu puntung terbakar tak paham juga apa yang di oloknya. Malam mulai larut. Pintu-pintu rumah mulai tutup, juga pengunjung kedai mulai rame. Continue reading