Karya Tebal Tak Menjamin Kualitas

(Naskah ini dimuat diharian Suara Merdeka pada 16 Agustus 2008 )

Tradisi literer merupakan keniscayaan dalam dunia akademis. Namun, agaknya geliat itu belum banyak tampak. Sebab, hingga kini mahasiswa masih berjarak dengan tradisi tulis.

Tengoklah, ketakutan akan kemampuan menulis masih sangat menggejala. Tidak heran apabila skripsi menjadi momok yang menyebalkan. Keberjarakan ini secara gamblang bisa kita lihat diberbagai ruang diskursus mahasiswa, kasus skripsi hayalah salah satunya.

Tak bisa dielakkan, pergulatan dialektika literer kita masih berada pada wilayah bagaimana membetuk kemampuan menulis. Bukan perdebatan mengenai kualitas atas totalitas ide sebuah naskah. Kenyataan itu berimbas pada parameter penilaian terhadap karya tulis.

Apresisasi tertinggi cenderung disematkan pada penulis yang mampu menyusun karya dengan banyak halaman. Tulisan yang demikian dinilai sebagai karya hebat yang seakan tertutup dari kritik. Pada kasus skripsi, seakan ada pandangan mengenai korelasi positif antara kualitas dengan ketebalan halaman skripsi. Pandangan tersebut tak sepenuhnya benar atau salah.

Karya tulis merupakan kolase ide yang menggambarkan mozaik pemikiran seseorang. Ia ibarat rumah yang dibangun dengan tatanan batu bata pemikiran dan intelektualitas. Namun harus diingat, rumah yang besar belum tentu lebih baik ketimbang rumah mungil.

Ada juga rumah besar yang tampak kokoh, namun sebetulnya hanya tumpukan material yang rapuh yang mudah keropos. Semuanya tergantung bagaimana kita menata pondasi, batu bata gagasan, adonan semen intelektualitas, dan menghiasinya dengan mozaik eksplorasi ide.

Acap kali kita juga terlampau terpukau dengan tulisan yang penuh tempelan pemikiran tokoh. Memang, tak ada salahnya membuat tulisan yang berjubel teori.

Namun terkadang nuasa reflektif pengarang pada tulisan semacam ini terasa sangat dangkal. Sebagaimana yang dikatakan Saifur Rohman dalam sebuah worhshop, ”Teori bukanlah segala-galanya, namun tulisan yang baik, segala-galanya adalah teori”.

Dalam hal ini, apabila eksplorasi ide, konstruksi gagasan dan daya tutur pengarang memang kokoh, maka tulisan tersebut akan tampak bagus dengan sendirinya.

Dengan demikian, untuk meningkatkan kualitas tradisi tulis, maka konsep epistemologis mengenai naskah yang bermutu perlu kita benahi. Parameter ideal sebuah tulisan bukan terletak pada ketebalan naskah atau copy-paste teori-teori besar, melainkan keutuhan gagasan, daya reflektif pengarang dan kualitas ide. [Rifqi Muhammad]

6 thoughts on “Karya Tebal Tak Menjamin Kualitas

  1. “…Sebagaimana yang dikatakan Saifur Rohman dalam sebuah worhshop, ‘Teori bukanlah segala-galanya, namun tulisan yang baik, segala-galanya adalah teori’…”…bukankah itu include sbg tempelan pendapat org lain…hanya saja si Saifur Rahman bukan teoretisi. So, brgkali yg dpermasalahkan bukan tempel-menempel itu,tp penulis yg tak memiliki pemaknaan ulang yg reproduktif atas pndangan/teori/pmikiran orang lain yg otoritatif. tapi…boleh juga refleksimu, Bro…cerdas!!

  2. Pingback: Membaca Inspirasi dan Manulis Gagasan « S . E . R . A . T

  3. Pingback: Membaca dan Menulis | Just Another Thought

Leave a comment