Sudah tiga hari ini saya menelusuri laman-lama maya tiap malam. Entah berapa lamanya, tapi setidaknya antara pukul 21.00 sampai 06-00 saya menjaga network frequency agar tetap betah dalam komputer mini milik Baiquni. Melalui Baiquni’s small white box, saya bertolak dari bilik B21 menuju ke Pittsburgh, Lasem, London, Moscow, atau Brown.
Setelah empat jam berjalan, biasanya perbedaharaan alamat tujuan sudah habis, dan saya tidak tahu mana yang akan saya kunjungi; semua akhirnya digerakkan jemari. Dimana telunjuk menuntun, disitu saya berada. Namun yang sering, dengan kata kunci yang tiba-tiba saya temukan, saya memilih beberapa laman dalam daftar tautan yang ditawarkan mbah Google. Kalau biasanya pilihan disandarkan pada pengetahuan, kehendak memilih ini jelas justru sebalikya. Ia bergerak dalam ruang imajiasi; membayangkan isi dari ribuan judul-judul, dan memutuskan untuk megujunginya.
Dengan mata sayup yang sesekali menghentak dalam kantuk, saya bergumul dengan segkarut informasi yang berbeda disetiap menitnya. Dan semua saya baca. Apakah kemudian saya mampu mencerapnya? itu soal lain. Dengan kesadaran dan konsetrasi menurun setegah tiang, tak bisa dibayangkan mudah meraup apa yang ada, alih-alih mencerap makna, yang terjadi hanyalah melocat-loncat di atas teks. Dan semua terkesan hampa. Hanya wara-warni laman yang sesekali membatu menyegarkan mata.
Suatu ketika, disela-sela kelelahan menyusuri laman-laman, saya terhentak. Saya terbayangkan akan yang beberapa akhir ini saya baca. Saya menangkap, ternyata ada imperium besar yang bersemayam dalam ruang maya. Dan saya selama ini larut dalam arusnya. Sehingga pandangan saya begitu subordiatif. Membayangkan barat sebagai pusat, dan cenderung enggan mengunjungi laman lain.
Kesan akan Yang lain yang diandaikan miskin, kolot, dan berada di pinggir, mendominasi pikiran selama berselacar. Kalaupun kadang saya mengunjunginya, paradigma barat tetap menyertainya; timur sebagai ruang eksotis, dan kita melihatnya dalam hasrat. Logika itu sangat kental ketika saya singgah di Ottoman, Calcutta, Yogyakarta, atau Antigua. Ada hegemoni dalam laman barat dan timur, antara budaya barat dan budaya timur. Ya, mungkin keduanya semacam antara kolonialis dan koloni. Segalaya terasa mensyaratkan garis demarkasi epistemic.
Saya ingat betul bagaimana saya mereduksi laman-laman timur hanya sebatas tanda-tanda masa lampau, primitif, eksotik dan tak beradab—jangan dipahami dalam kerangka etik. Secara semena-mena, ternyata saya mengiyakan imprealisme dalam pikiran dengan hanya mempertimbangkan barat ketika ingin mengunduh pengetahuan. Mungkin itu tak seberapa, tapi langkah itu dibarengi anggapan timur hanyalah artefak. Bukankah ini biadab?
Disini saya benar-benar berhadapan dengan apa yang dikatakan Levebre soal pergeseran hegemoni dari dominasi negara menuju hegemoni paradigma ruang publik. Atau juga yang sabdakan Foucault megenai episteme pendisiplinan tubuh. Bahwa pembatasan ruang inisiatif kita dalam mengunduh informasi di sepanjang internet bisa dipahami sebagai pendisiplinan ruang, dimana kita didisiplinkan dalam tema-tema yang diaggap poros dari yang lain.
Internet yang dideru-derukan dengan nafas kesetaraan tanpa sekat, agaknya menemui ambivalensi-nya disini. Mungkin ini yang disebut mimikri olah Bhabha. Di satu sisi internet diniati untuk mengungkap semua yang ada, namun ia mengsubordinasi. Internet titangkap barat sebagai ruang produksi, tetapi ditimur—termasuk kita di Indonesia— lebih sebagai ruang konsumsi. Ini baru internet, banyak ruang lain yang juga tercerabut dari displacing gaze-nya.
Lebih lajut saya meduga, pendisiplinan ini juga melalui berbagai media seperti pendidikan formal, televisi, gaya hidup, fashion, makanan, atau hiburan. Sedang yang lain, anda bisa sebutkan sediri. Tak bisa dielak, hampir seluruhnya bentuk hegemoni itu bersifat seduksi (menyenangkan). Dan ketika masuk dalam ruang penuh setting-an ini, kita akan mengamininya sebagai tindak rasional, atau sebuah mitos yang niscaya; khurofat. Lalu bagaimana kita bertindak? Hanya Tuhan yang tahu. Bila tidak demikian, bagaimana anda melakukan pembacaan?
Rifqi Muhammad [Jogja, 12 February 2009]
Pingback: Membaca Inspirasi dan Manulis Gagasan « S . E . R . A . T
Pingback: Membaca Inspirasi dan Menulis Gagasan | Just Another Thought