Ketegangan dan Kelenturan Lukisan

Oleh RIFQI MUHAMMAD

[1]

Berpuluh-puluh menit memandangi ketiga lukisan Nur Ikhsan “Brekeley”, tak lantas membuat saya mampu menempatkannya dalam tatanan sensorial saya. Seakan, ketiga lukisan Brekeley, Kriwikan Dadi Grojogan, Human Eksistence, dan Mith, diracik oleh tiga perupa yang berbeda. Selain kesulitan menakik benang merah untuk merangkum ketiganya, saya merasa, ketiga lukisan itu hidup dalam konteksnya sendiri. Terpecah dan berdiri sendiri. Ketiganya saling berebut perhatian dalam ruang tafsir sensorial saya.

Bentuk yang digambarkan oleh Brekeley bukanlah bentuk-bentuk realis. Bentuk yang tidak berkorelasi langsung dengan pengalaman sensorial indrawi kita, melainkan menohok alam imajiner kita. Lukisan Brekeley menggeledah bentuk-bentuk dalam kesadaran (consciousness) dan mimpi (unconsciousness) saya. Saya merasa Brekeley berusaha mengolah bagian-bagian tertentu untuk meraih penekanan ketimbang menyajikan bentuk secara keseluruhan. Bentuk-bentuk yang merangsang sensasi itulah yang saya kira bisa dirasakan dengan tetap menatapnya sebagai kesalingberkaitan dengan bagian lain.

Kriwikan Dadi Grojogan menampilkan fenomena visual yang mengandung bentuk-bentuk repetitif yang bergerak konstan. Bentuk-bentuk di dalamnya ditampilkan bertumpuk tak karuwan. Ukuran dan jarak menjadi nisbi. Kesemuanya itu tergurat dalam tekanan dan ketebalan yang berbeda. Satu bentuk sangat jelas, pada bagian lain begitu tampak tipis, namun massif. Sesekali saya merasa pada bagian-bagian tertentu sangat konkrit, namun tetap tidak bisa melepasnya dari bingkai abstrak.

Warna dominan merah pekat yang bercampur dengan hitam, mengingatkan saya pada darah dan nyala api yang membara. Susunan bentuk subjek yang menyerupai buto–sejenis monster dalam literatur pewayangan, yang posisinya terjungkirbalik dalam bara api dan gelimang darah yang pekat, membuat saya berhadapan dengan imajinasi neraka.

Human Eksistence, mengingatkan saya pada sosok yang khusyuk. Ditegaskan dengan sangat nyata dalam lukisan Brekeley ini, sebentuk wajah yang tertunduk dengan mata terpejam; wajah-wajah yang pasrah. Warna merah dan jingga awan yang menaunginya, menciptakan kesan keterlemparan subjek dalam semesta cakawala yang tak terduga batasnya. Bahkan saya tak menemukan sensasi keceriaan dalam wajahnya. Fenomena visual ini tentu mengingatkan saya pada kedaan para jemaat di tempat peribadatan, tempat yang meluluhkan kecendrungan manusia untuk berkuasa, menuju dunia kehambaan dan kepasrahan. Wajah-wajah itu tenang, terlalu tenang. Tentu saja mereka tidak berdoa melalui lesan, karena bibir mereka terkatup rapat.

Namun dalam lukisan ini, adanya guratan otak yang bagi saya menciptakan kesan paradox, sekalipun ditampakkan samar. Otak yang menjadi tonggak kedigjayaan manusia, hadir sebagai bentuk yang berbeda. Saya pun curiga. Lantaran bentuknya yang cukup dominan, membuat saya tidak bisa lagi mengatakan bahwa sosok itu adalah sosok yang polos. Melainkan kepolosan yang digerakkan intrik. Ya, semacam spiritualitas yang pamrih.

Mith, pertama-tama menghadapkan saya pada ketelanjangan. Tubuh yang dilukiskan Brekeley, bukanlah unit bidang, bukanlah tubuh-tubuh yang simetris, juga bukan tubuh yang diatur; melainkan tubuh yang bergerak bebas menampakkan naluri geraknya. Satu yang bisa kita tangkap, ingatan dan pengetahuan kita mungkin membuat kita menamai tubuh itu sebagai perempuan, lantaran pinggulnya yang lebar. Itu saja.

Bagi saya, tubuh dalam lukisan Brekeley ini mesti dipahami dalam aras keterlibatan kita dengannya; bukan ditanggapi sebagai pengetahuan anatomi yang termediasi lewat lukisan, serta bukan sebagai jaringan mekanik organ yang beku, apalagi sebagai tubuh yang terorganisasi dalam sistem produksi-reproduksi. Ya, ini adalah tubuh yang lentur, tubuh yang bisa dirasakan, yang hadir di antara tumbuh dan luruh. Garis-garisnya berusaha membentuk sosok perempuan yang hidup. Tak tampak ketegangan pada tubuh-tubuh itu. Seakan ia terbebas dari beban tabu ala pendisiplinan produk ideologi–produk yang selalu menyelimuti gerak manusia, termasuk tabu dan dosa.

[2]

Saya kira Brekeley tergolong perupa yang mengirit bentuk, berbeda dengan perupa-perupa yang menghasilkan lukisan ramai, yang lazimnya ingin bercerita. Maka wajar bila pada karya-karya Brekeley, kita menemukan kualitas mimpi. Dalam karya-karyanya, bentuk-bentuk tidak dihadirkan secara dingin, melainkan cukup liar, dan seakan meletup-letup–sebagaimana lazimnya dalam surrealisme dan ekspresionisme.

Di hadapan lukisan Brekeley, saya merasa tengah mendapati permainan bidang yang menunggu untuk ditanggapi, bidang di mana saya bisa terlibat di dalamnya. Tidak sekadar gambar yang bercerita dan kita mendengarya saja. Pada Mith, misalnya, seakan goresan garis-garisnya berubah menjadi sketsa dalam bentuk yang lebih sempurna ketika mendekapnya melalui pengalaman sensorial saya.

Ya, segala guratan yang tersaji di atas kanvas, tak lain daripada getaran jiwa perupa yang menampakkan diri, bukan sekadar tiruan realitas oleh perupa. Mencerap sebuah lukisan tidak bisa selesai hanya melalui penglihatan. Guratan garis dan bentuk yang terhampar dalam lukisan bukanlah sekadar sidik jari, melainkan rekaman emosi dan aspirasi perupa. Namun kelewatan bila anda berpikir lukisan adalah sarana perupa untut membanggakan diri atau membesar-besarkan diri.

Sekalipun lukisan adalah visualisasi makna (konsep, emosi, atau aspirasi) dari perupa, bukan berarti menghadapi lukisan lantas melulu dipahami menghadapi makna-makna. Terkadang sebuah karya bisa dipahami bukan lantaran dicari[-cari] maknanya dengan bermain tafsir, melainkan dengan menikmatinya, merasakan luapan emosi perupa dalam karyanya. Kedua jalan menuju lukisan itu pun tak bisa berdiri sendiri, namun saling berkaitan, berkelindan. Demikian juga pada beberapa lukisan-lukisan Brekeley, yang juga tak mudah takluk oleh indra penglihatan kita.

Kriwikan Dadi Grojogan, Human Eksistence, dan Mith memaksa kita untuk membuka cakrawala imajinasi. Lukisan-lukisan Brekeley menguji naluri dialogis kita. Kriwikan Dadi Grojogan menampakkan suasana kacaubalau melaui kelidan anasir dan bentuk yang tidak tertata. Jungkir balik sosok buto yang disusun secara repetitif, dengan mimik wajah seperti berteriak, cukup untuk membuat kita merasa merinding. Merah menyala entah api dan atau darah, menghardik saya untuk menelusuri peristiwanya secara seksama; suasana neraka. Neraka, sebuah terminologi yang merangkum berbagai makna: dosa, mengerikan, hukuman, api, panas, tangis, setan, dan sebagainya.

Saya tak bermaksud mengatakan, Brekeley berbicara tentang neraka dalam lukisannya. Hanya saja, saya merasakan suasana neraka dalam lukisannya. Ini berbeda. Begitu juga dalam Human Eksistence, apakah Brekeley hendak melukiskan fenomena keberagamaan? Mungkin. Saya kira pemaknaan apapun sah, tak bisa dicela, apalagi dipersalahkan. Sebab mahami lukisan, berkaitan dengan pengalaman personal dan daya sensorial pencerap. Makna tak bisa dikembikan pada perupa.

Dari dialog singkat dengan karya-karyanya, saya hanya bisa menduga, bahwa lukisan-lukisan Brekeley menampakkan imajinsi visual perupa tentang spiritualitas. Tentang dosa, doa, kengerian, dan sebagainya. []

* tulisan ini dibuat sebagai catatan pameran karya Nur Ikhsan “Brekeley”, komunitas Penjaskes (Penjahat Kesenian)

3 thoughts on “Ketegangan dan Kelenturan Lukisan

  1. Pingback: Prediksi Keyword Populer 2011 « S . E . R . A . T

Leave a comment